Npm : 14210920
Kelas : 3EA18
Judul : Cinta di Kota Terlarang
Penulis : Ngarto Februana
Jenis : Cerpen
Terbit : Januari 2012
Resensi :
Cerpen Ngarto Februana |
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter
berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati,
penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli
karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol
bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu
terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari
lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka
bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya,
Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang
terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan
bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil
keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator,
bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi
program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak
buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di
depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri
nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan,
cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis.
“Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik
aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin
karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih
utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin
terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit.
Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa
entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku
turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu
keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan
memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca
jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang
petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi
suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati
Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota
Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?”
tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa
indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan
taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul
terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total
begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu.
Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa
sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra
satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama
ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun
melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang
biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut
dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti
biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup
mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari
biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne
adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah
suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United
American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu
baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai
orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja.
Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di
hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat.
Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan
matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan
kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu
dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan
suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di
gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan
dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga
stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih,
atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang
yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok
untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun
Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di
Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh
dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah
jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan
dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka.
Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku:
kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa
petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat
menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya
tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia
menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar
stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu,
terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka
ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau,
kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah,
tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan
taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di
Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung
ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau
berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia.
Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku
tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti
mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang
keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang
cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar
dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di
taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne.
“Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam
disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota
Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut
saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak
akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir,
dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar
darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan.
Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang
palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne,
wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun
Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan.
Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari
ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda,
Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini,
selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan
demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah.
Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil
keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh
bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita
sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya
terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang
dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku
menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku
pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku
sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang
arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau
cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan
kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami
mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar
dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne
memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus
melangkah dan tak menoleh lagi.
Kelebihan : Sebuah perjuangan seorang pria untuk menjaga kesetiaannya kepada istri dan anaknya disaat situasi keadaan sangat memungkinkan untuk dia berpaling pada wanita lain.
Kelemahan : Lemahnya keadaan perasaan wanita itu yang tidak bisa menjaga kesetiannya pada suami dan keluarganya sehingga terlena dengan situasi dan kondisi yang dialami di cerita tersebut.
Perjalanan
malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun
keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan
berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan
terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya
obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
- See more at: http://infosastra.com/2012/12/cinta-di-kota-terlarang/#sthash.jaSEWwzN.dpuf
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
- See more at: http://infosastra.com/2012/12/cinta-di-kota-terlarang/#sthash.jaSEWwzN.dpuf
Cerpen Ngarto Februana |
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
Cerpen Ngarto Februana |
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.
Perjalanan malam itu seperti tak pernah berujung sejak kereta meninggalkan stasiun keberangkatan di tengah kota. Kereta commuter berlari, berhenti, dan berlari lagi. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang berebut naik dan terburu-buru turun. Tapi kami tak peduli karena terbenam dalam asyiknya obrolan.
Ngobrol bersama seorang teman, wanita cantik berkerudung merah jambu, waktu terasa cepat berlalu dan perjalanan terasa asyik. Seperti hari-hari lalu, setiap naik kereta bersama, Geraldinne Anderson suka bercerita tentang apa saja. Kali ini ia banyak curhat tentang bosnya, Patrick Jefferson, yang suka menjilat atasan dan menindas bawahan, yang terlalu pelit menghargai kerja keras anak buahnya, yang mengecilkan bawahan yang potensial menjadi rival, yang plin-plan mengambil keputusan.
“Mr Jefferson kerjanya cuma utak-atik program kerja melulu tapi nggak konsisten dalam implementasi program,” kata Geraldinne.
“Mungkin dia bakatnya administrator, bukan manajer yang jeli dalam detail-detail konsekuensi implementasi program,” aku memberi komentar.
“Dia tidak fokus. Maunya nyuruh anak buahnya bikin sebanyak-banyaknya program kerja supaya kelihatan hebat di depan direksi,” kata Geraldinne. “Ide-ide dan pemikirannya sendiri nggak ada.”
Pembicaraan beralih ke hal-hal ringan, cerita pengalaman kepergok kondektur ketika naik kereta tak beli karcis. “Tahu nggak. waktu aku naik, langsung disamperin kondektur. Aduh, panik aku,” tuturnya.
“Terus? Gimana rasanya disuruh push up?” godaku.
“Enggaklah kalau sampai disuruh push up. Aku keluarin karcis-karcis bekas dari tasku, sudah bolong-bolong. Satu yang masih utuh, eh, jurusannya beda. Lalu aku bilang saja karcisku jatuh.”
Kereta terus berlari dan kami makin terbenam ke dalam asyiknya ngobrol sana sini. Penumpang makin sedikit. Tinggal beberapa orang di gerbong kami. Tapi kami tak peduli hingga lupa entah kereta sampai di mana. Aku terlena sampai aku lupa seharusnya aku turun di Stasiun C.
Suara lembut petugas wanita mengganggu keasyikan kami. “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kereta akan memasuki perbatasanKotaTerlarang….”
Aku terbelalak. Kulihat Geraldinne terheran-heran, “Kota Terlarang?”
“Jangan-jangan kita salah naik kereta, Din,” kataku. Tak ada nama Kota Terlarang di benua ini.
“Tidak mungkin. Aku lahir dan besar di negeri ini,” ujar Geraldinne, keturunan suku Chiricahua Apache itu. “Bahkan sebelum benua ini ditemukan oleh Colombus, tak ada nama Kota Terlarang.”
Aku melongok ke luar melalui kaca jendela. Suasana sekitar tak lagi kukenali. Aku memanggil seorang petugas yang berdiri di sambungan antar-gerbong.
“Tuan, stasiun C sudah lewat belum?” tanyaku.
“Sudah sejak tadi, Tuan,” jawab petugas kulit hitam berwajah imut-imut itu.
“Kalau Stasiun B?” tanya Geraldinne, yang mestinya turun di Stasiun B.
“Juga sudah lewat, Nyonya.”
“Bagaimana mungkin? Bukankah kereta ini berhenti di stasiun akhir di Stasiun B di Kota B untuk kembali ke Kota J?” tanyaku.
“Tujuan akhir kereta ini adalah Kota Terlarang dan tak akan pernah kembali lagi.”
Melalui pengeras suara, terdengar lagi suara lembut petugas, “Penumpang yang terhormat, kereta telah melewati Gerbang Kota Terlarang. Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
“Absurd! Apa maksudnya semua ini?” tanyaku. Aku kembali melongok ke luar. Ya, Tuhan, ini kota luar biasa indah. Cahaya lampu warna-warni, gedung-gedung, istana-istana dan taman-taman yang sangat indah seperti di negeri dongeng. Aku betul-betul terbuai oleh keindahannya.
Tiba-tiba suasana kereta berubah total begitu memasuki Kota Terlarang, yang diperintah oleh raja sihir itu. Ruangan gerbong tiba-tiba harum semerbak mewangi. Segalanya terasa sangat indah. Empat pasang wanita-pria di gerbong itu terlihat mesra satu sama lain. Dan, ketika kulirik rekan seperjalananku, yang selama ini selalu bersama di kereta itu, ia seperti berubah. Rupanya dia pun melihat ada perubahan pada diriku, berbeda dari biasanya, teman yang biasa berjumpa di kereta.
“Geraldinne?” panggilku, yang terasa berbeda kedengarannya dibanding hari-hari kemarin. Terdengar mesra.
Ia melirik ke arahku dan tersenyum—senyum paling manis yang pernah aku lihat. “MasAntony….”
Suara dia pun jadi berubah sangat lembut dan mesra menyentuh di hati. Bau mulutnya sangat harum—tidak seperti biasanya, yang kurang sedap sehingga kala berdekatan dia kadang menutup mulutnya dengan ujung jilbabnya.
Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, yang memang sudah cantik dari asalnya. Mungkin Geraldinne adalah wanita tercantik di kalangan orang-orang yang masih berdarah suku Indian Apache, campuran Latino. Apalagi kala anggota The United American Muslim Association itu mengenakan jilbab merah jambu dipadu baju biru bermotif bunga seperti batik yang biasa dipakai orangIndonesia. Sinar matanya begitu indah. Lirikan matanya manja. Senyumnya sangat manis. Aku terpesona. Kurasa ada benih-benih cinta di hatiku, dan aku menatapnya dengan penuh kemesraan yang syahdu.
Kami saling pandang dari jarak dekat. Kulihat ia pun tampak jatuh cinta kepadaku. Begitu mesra pandangan matanya. Diam-diam kami bergenggaman tangan dan kubiarkan ia merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Kereta pun terus berlari, kami berpacu dalam gejolakasmara. Kulihat empat pasang pria-wanita—yang bukan suami-istri—di gerbong itu juga tengah bermesraan. Mungkin juga di gerbong lain ada pasangan yang tiba-tiba dilanda cinta membara.
Seorang petugas menghampiri kami dan dengan ramah berkata, “Maaf, Anda turun di stasiun mana?Ada tiga stasiun di Kota Terlarang, tinggal pilih Stasiun Rindu, Stasiun Kasih, atau Stasiun Cinta.”
“Stasiun Cinta,” kataku.
“O, itu stasiun paling indah buat orang yang sedang kasmaran,” kata si petugas. “Kalau Stasiun Rindu hanya cocok untuk remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Sedangkan Stasiun Kasih, untuk pemuda dan pemudi yang ingin berkasih-kasihan.”
Apakah aku sedang kasmaran? Astaga, ini cinta terlarang! Tapi, aku makin tenggelam dalam gejolak cinta membara.
Tak pernah terbayang, Stasiun Cinta di Kota Terlarang begitu indah, rapi, teratur, dan suasana romantis, penuh dengan bunga. Dinding stasiun berwarna-warni cerah ungu, pink, merah jambu. Petugas cantik-cantik dan ganteng; mereka berpasang-pasangan dengan seragam warna-warni cinta serta bunga mawar merah di dada mereka. Sangat jauh berbeda dengan kondisi stasiun di negeri nenek moyangku: kumuh, sumpek, jorok, pesing bau kencing, petugasnya tidak ramah.
Turun dari kereta, dengan bergandengan tangan, kami disambut ramah para petugas seperti layaknya tamu terhormat.
“Selamat datang di Stasiun Cinta,” sapa petugas wanita, seraya menyerahkan seuntai mawar merah. “Selamat menikmati indahnya cinta di Kota Terlarang.”
Geraldinne melirik ke arahku seraya tersenyum. Kubalas senyumnya dan makin erat menggenggam tanganku. Ia menempelkan kepalanya di bahu kiriku dan kami pun melangkah ke luar stasiun.
Begitu keluar stasiun yang wangi itu, terbentang Taman Cinta yang luas dan sangat indah. Pepohonan beraneka ragam, bunga-bunga beraneka jenis sedang pada mekar, rumput hijau, kolam-kolam, sungai-sungai, bukit-bukit kecil, lembah-lembah, tebing-tebing batu. Semua itu diterangi lampu beraneka warna, menjadikan taman semakin indah seperti di negeri dongeng.
Sepanjang malam di taman Stasiun Cinta di Kota Terlarang kami menikmati taman bersama, berjalan-jalan dari ujung ke ujung taman, duduk-duduk sambil ngobrol di tepi sungai, atau berlarian berkejaran di halaman rumput hijau seperti di film-filmIndia. Segalanya terlupakan, yang ada hanya cinta dan kemesraan.
Kulihat beberapa pasang kekasih gelap melakukan hal yang sama. Inikah pemandangan khas Kota Terlarang?
Hingga menjelang subuh, aku tersadar—tepatnya antara sadar dan tidak—ketika aku merasakan seperti mendengar celoteh anak-anakku, mendengar suara bisikan istriku, yang keluar dari hati yang bersih. Terlintas dalam benakku wajah istriku yang cantik—kurasa lebih cantik dari Geraldinne. Istriku yang sangat sabar dan penyayang serta sangat setia itu ….
Ini pengkhianatan! Aku tersentak.
Duduk di atas batu, di pinggir kali di taman itu, kulepaskan genggaman tangannya dan kutatap wajah Geraldinne. “Akankah kita begini selamanya?”
“Iya. Kenapa?” bibirnya bergetar.
Aku menggeleng. Bulan di langit kelam disapu awan. “Tidak, Din. Kita tidak mungkin selamanya di Kota Terlarang. Jangan-jangan ini semua fatamorgana.”
“Ini nyata, Mas. Aku bahagia.”
“Kebahagiaan yang sementara. Aku takut saat matahari terbit nanti, semuanya berubah jadi neraka. Dan kita tak akan kuat menahan panasnya. Ini kota dibangun oleh para penyihir, dipimpin dan dikendalikan raja sihir.”
Mata Geraldinne berkaca-kaca.
“Kita telah tersihir. Kita harus keluar darikotaini sebelum matahari terbit. Kita kembali kepada kenyataan. Kembali kepada orang-orang tercinta yang setia menunggu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Mas,” bisik Geraldinne.
“Ini cinta terlarang, Din,” kataku.
Geraldinne tertunduk.
“Kita tersihir oleh keindahannya yang palsu. Semua itu semu,” kataku, dengan menatap iba wajah Geraldinne, wajah blasteran Latino.
“Jadi, kita putuskan cinta di antara kita?”
“Karena di antara kita terlarang ada cinta.”
“Tapi, bukankah kita saling mencinta?”
“Fatamorgana cinta…. Kita telah terlena.”
Kami melangkah keluar dari Taman Stasiun Cinta. Kali ini tanpa bergandengan tangan, bahkan tidak berdekatan. Jalan demi jalan berliku kami susuri, mencari jalan keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang.
Di persimpangan jalan, di tepi kota, kami berhenti.
“Kita harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk keluar dari Kota Terlarang,” kataku.
“Tidak bisa bersama-sama?”
“Jalan yang akan kita tempuh berbeda, Din. Selama kita bersama, kita tidak akan keluar dari kota ini, selamanya kita tersesat di kotaini.”
Geraldinne tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Berat memang tapi harus kita lakukan demi orang-orang terkasih. Anak dan suamimu sudah menunggu di rumah. Begitu juga anak dan istriku gelisah menungguku di luarsana.”
Geraldinne membisu, bibirnya bergetar, dan ia mulai menangis.
“Maafkan aku, Din…. Kita berpisah di sini. Jangan harap lagi kita kembali kekotaini….”
“Apakah setelah ini, setelah berhasil keluar dari ketersesatan di Kota Terlarang ini, kita tidak boleh bersama?” Nada suara Geraldinne terdengar pilu. “Salahkah jika kita sering bersama di kereta yang sama? Salahkah itu, Mas?” Suaranya terdengar menghiba.
“Bersama dalam arti berbeda,” kataku sambil menatap bola matanya yang berkaca-kaca.
“Apa bedanya?” Ia menunduk sedalam rasa.
“Kebersamaan sebagai teman biasa, yang dilandasi saling pengertian dan ketulusan sebagai teman biasa.” Aku menghela napas dalam-dalam. Tampaknya begitu tegar tapi sesungguhnya aku pun menyimpan pilu. Sebenarnya aku pun mencintainya saat itu walau aku sadar bahwa itu cinta terlarang.
“Aku tidak mengerti.” Geraldinne menggeleng-geleng.
“Suatu saat kita akan mengerti tentang arti kesetiaan…,” kataku. “Kita pernah mengotori arti kesetiaan walau cuma sesaat dan kita akan belajar untuk membersihkannya. Kesetiaan kepada orang-orang terkasih itu akan memberi arti bagi hidup kita.”
Geraldinne menunduk.
“Maafkan aku, Din….”
Akhirnya, di persimpangan jalan itu kami mengambil keputusan bulat meski berat: menempuh jalan berbeda, keluar dari ketersesatan ini. Aku melangkah ke kanan, sedangkan Geraldinne memutuskan melangkah ke kiri. Ia melangkah dengan terisak. Aku pun terus melangkah dan tak menoleh lagi.